KATA PENGANTAR
Segala puji
serta syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT yang telah
melimpahkan karunia dan ridhoNya sehingga akhirnya penyusun dapat menyelesaikan
makalah ini. Adapun terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini, itu merupakan
fakta asli kemampuan manusia yang pada dasarnya tidak pernah luput dari khilaf
dan salah.
Pada
kesempatan kali ini, alhamdulillah makalah ini telah selesai disusun dengan
memanfaatkan sumber-sumber referensi yang saya peroleh. Semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat dan wawasan lebih bagi pembaca pada umumnya dan
khususnya bagi kami sebagai tim penyusun.
Bekasi , Mei 2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
I.
LATAR
BELAKANG
Untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan
kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi dirinya serta menumbuhkankembangkan sikap perilaku usaha yang
bertanggung jawab.
Maka
dibentuklah UU No. 18 Tahun 1999 yang adalah ketentuan hukum untuk melindungi
konsumen dari kecurangan-kecurangan pelaku usaha. Hal ini ditujukan untuk
mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha
sehingga tercipta perekonomian yang sehat.
Dewasa ini telah banyak terjadi kecurangan hampir disetiap lini bidang kehidupan terutama dalam
bidang perekonomian. Terlebih lagi, kecurangan merebak mulai pasar tradisional hingga ketingkat supermarket.
Ironisnya, para pejabat yang berwenang tidak efektif dalam melakukan
pemeriksaan terhadap para pelaku usaha yang tidak sehat.
Walaupun kebanyakan alasan
yang digunakan adalah factor bahan yang mahal atau karena sepinya pemebeli,
sekalipun begitu hal tersebut tetap tidak dibenarkan karena hal tersebut tetap
merugikan konsumen ditinjau dari sudut pandang manapun.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Pengertian Konsumen ?
2.
Apa saja yang menjadi Azas dan Tujuan
?
3.
Apa saja yang menjadi Hak dan
Kewajiban Konsumen ?
4.
Apa yang menjadi Hak dan Kewajiban
Pelaku Usaha ?
5.
Perbuatan apa saja yang dilarang bagi
pelaku usaha ?
6.
Bagaimana Klausula Baku dalam
Perjanjian ?
7.
Bagaimana Tanggung Jawab Pelaku Usaha
?
8.
Sanksi apa saja dalam Perlindungan
Konsumen ?
BAB II
PEMBAHASAN
. 1.1 Pengertian Konsumen Menurut UU PK
Menurut pengertian Pasal 1 angka 2 UU PK, “Konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,, orang lain, maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan.”
Anda tentu memahami bahwa tidak semua barang setelah melalui
proses produksi akan langsung sampai ke tangan pengguna. Terjadi beberapa kali
pengalihan agar suatu barang dapat tiba di tangan konsumen. Biasanya jalur yang
dilalui oleh suatu barang adalah:
“Produsen – Distributor – Agen – Pengecer – Pengguna”
Lebih lanjut, di ilmu ekonomi ada dua jenis konumen, yakni
konsumen antara dan konsumen akhir. Konsumen antara adalah distributor, agen
dan pengecer. Mereka membeli barang bukan untuk dipakai, melainkan untuk
diperdagangkan Sedangkan pengguna barang adalah konsumen akhir.
Yang dimaksud di dalam UU PK sebagai konsumen adalah
konsumen akhir. Karena konsumen akhir memperoleh barang dan/atau jasa bukan
untuk dijual kembali, melainkan untuk digunakan, baik bagi kepentingan dirinya
sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain.
Dan Anda tentu mengetahui bahwa ada dua cara untuk
memperoleh barang, yakni:
Membeli. Bagi orang yang memperoleh suatu barang dengan cara
membeli, tentu ia terlibat dengan suatu perjanjian dengan pelaku usaha, dan
konsumen memperoleh perlindungan hukum melalui perjanjian tersebut.
Cara lain selain membeli, yakni hadiah, hibah dan warisan.
Untuk cara yang kedua ini, konsumen tidak terlibat dalam suatu hubungan
kontraktual dengan pelaku usaha. Sehingga konsumen tidak mendapatkan
perlindungan hukum dari suatu perjanjian. Untuk itu diperlukan perlindungan
dari negara dalam bentuk peraturan yang melindungi keberadaan konsumen, dalam
hal ini UU PK.
Lalu muncul pertanyaan, bagaimana bila saya membeli barang,
kemudian saya menghadiahkannya kepada teman saya. Siapakah yang disebut
konsumen? Menurut saya yang patut untuk disebut sebagai konsumen hanyalah
penerima hadiah. Sedangkan pemberi hadiah bukan konsumen menurut pengertian
Pasal 1 angka 2 UU PK. Pemberi hadiah dapat dikatakan sebagai konsumen
perantara.
Lalu mengapa di ketentuan Pasal 1 angka 2 UU PK disebutkan
“… baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,, orang lain, maupun makhluk
hidup lain…”? Ketentuan ini dimaksudkan bila Anda menggunakan suatu barang
dan/atau jasa dan bukan hanya Anda yang merasakan manfaatnya, melainkan juga
keluarga Anda, orang lain, dan makhluk hidup lain. Contohnya bila Anda membeli
sebuah AC untuk dipasang di ruang tamu rumah Anda. Tentu bukan hanya Anda yang
merasakan hawa sejuk dari AC tersebut. Istri/suami, anak, tamu dan hewan
peliharaan Anda tentu ikut merasakan kesejukan AC tersebut
Maka dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat konsumen menurut
UU PK adalah:
Pemakai barang dan/atau jasa, baik memperolehnya melalui
pembelian maupun secara cuma-cuma
Pemakaian barang dan/atau jasa untuk kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain.
Tidak untuk diperdagangkan
1.2. Azas dan Tujuan Hukum Perlindungan
Konsumen
Sebelumnya telah disebutkan bahwa tujuan dari UU PK adalah
melindungi kepentingan konsumen, dan di satu sisi menjadi pecut bagi pelaku
usaha untuk meningkatkan kualitasnya. Lebih lengkapnya Pasal 3 UU PK
menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah:
Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri
Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab
dalam berusaha
Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan konsumen
Sedangkan asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan
konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU PK adalah:
Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan
pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi
dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
Asas keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang
mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan
melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan
menunaikan kewajibannya secara seimbang.
Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen,
pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak
yang lebih dilindungi.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen,
serta negara menjamin kepastian hukum.
1.3. Hak
dan Kewajiban Konsumen
- Hak-hak
Konsumen adalah :
·
Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
·
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta
mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi
serta jaminan yang dijanjikan.
·
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
·
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas
barang dan/atau jasa yang digunakan.
·
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan
upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
·
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan
konsumen.
·
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
·
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti
rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
·
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
-
Kewajiban Konsumen
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen,
Kewajiban Konsumen adalah :
·
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan
prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan.
·
Beritikad baik dalam melakukan transaksi
pembelian barang dan/atau jasa.
·
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
·
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
1.4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan
kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik;
hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara
hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK
adalah:
beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan;
memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang
berlaku;
memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi
atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan
kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini
berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku
usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima
pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik.
Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad
baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa
persaingan yang curang antar pelaku usaha.
Kewajiban-kewajiban pelaku usaha juga sangat erat kaitannya
dengan larangan dan tanggung jawab pelaku usaha yang akan kita bahas nanti.
1.5. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku
Usaha (Ps 14-17).
PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Pasal 14
“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian,
dilarang untuk”
a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang
dijanjikan
b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa
c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan
d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah
yang dijanjikan.
Pasal 15
“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang
melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan
baik fisik maupun psikis terhadap konsumen”
Pasal 16
“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui
pesanan dilarang untuk”
a. tidak menepati
pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan
b. tidak menepati
janji atau suatu pelayanan dan/atau prestasi
Pasal 17
1. Pelaku usaha
periklanan dilarang memproduksi iklan yang
a. mengelabui
konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang
dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa
b. mengelabui
jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa
c. memuat informasi
yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa
d. tidak memuat
informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/ atau jasa
e. mengeksploitasi
kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang
bersangkutan
f. melanggar etika
dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan
2. Pelaku usaha
periklanan dilarang melanjutkan peredaran ikian yang telah melanggar ketentuan
pada ayat (1)
Sumber :
1.6. Klausula Baku Dalam Perjanjian
Klausula baku adalah setiap syarat dan ketentuan yang telah
disiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pengusaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi
oleh konsumen.
Memang klausula baku potensial merugikan konsumen karena tak
memiliki pilihan selain menerimanya. Namun di sisi lain, harus diakui pula
klausula baku sangat membantu kelancaran perdagangan. Sulit membayangkan jika
dalam banyak perjanjian atau kontrak sehari-hari kita selalu harus
mernegosiasikan syarat dan ketentuannya.
Di dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan atau
perjanjian, antara lain :
1. Menyatakan
pengalihan tanggung jawab pelaku usaha ;
2. Menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen ;
3. Menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas
barang dan atau jasa yang dibeli konsumen ;
4. Menyatakan
pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli konsumen secara angsurang ;
5. Mengatur
perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen ;
6. Memberi hak
kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan
konsumen yang menjadi objek jual beli jasa ;
7. Menyatakan
tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan
dan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya ;
8. Menyatakan
bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
1.7. Tanggung Jawab Pelaku Usaha (Ps
24-28)
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Pasal 24
1) Pelaku usaha
yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab
atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila
a. pelaku usaha
lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang
dan/atau jasa tersebut
b. pelaku usaha
lain, didalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang
dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh,
mutu, dan komposisi
2) Pelaku usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan
ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli
barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan
atas barang dan/atau jasa tersebut
Pasal 25
1) Pelaku usaha
yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu
sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas
purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang
diperjanjikan
2) Pelaku usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi
dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut
a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku
cadang dan/atau fasilitas perbaikan
b. tidak memenuhi
atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
Pasal 26
“Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi
jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.”
Pasal 27
“Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dan
tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila”
a. barang
tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk
diedarkan
b. cacat barang
timbul pada kemudian hari
c. cacat timbul
akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d. kelalaian yang
diakibatkan oleh konsumen
e. lewatnya
jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka
waktu yang diperjanjikan
Pasal 28
“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam
gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23
merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.”
1.8. Sanksi Pidana UU Perlindungan Konsumen
Masyarakat boleh merasa lega dengan lahirnya UU No. 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun bagian terbesar dari masyarakat kita
belum tahu akan hak-haknya yang telah mendapat perlindungan dalam undang-undang
tesebut, bahkan tidak sedikit pula para pelaku usaha yang tidak mengetahui dan
mengindahkan UU Perlindungan Konsumen ini.
Dalam pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai berikut : 1) Dihukum
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap : pelaku usaha yang
memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan berat, jumlah,
ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana
yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8
ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8
ayat 1 ), memperdagangkan barang rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2
), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di dalam dokumen
dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b ) 2) Dihukum dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku usaha yang melakukan
penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan konsumen dengan
menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral, pelaku usaha yang
menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan atau waktu yang
telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi iklan yang tidak
memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
Dari ketentuan-ketentuan pidana yang disebutkan diatas yang
sering dilanggar oleh para pelaku usaha masih ada lagi bentuk pelanggaran lain
yang sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pencantuman kalusula baku
tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen dalam setiap nota pembelian barang. Klausula baku tersebut biasanya
dalam praktiknya sering ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat “Barang
yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” dan pencantuman
klausula baku tersebut selain bisa dikenai pidana, selama 5 (lma) tahun
penjara, pencantuman klausula tersebut secara hukum tidak ada gunanya karena di
dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang
masuk dalam kualifikasi seperti, “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar
atau dikembalikan” automatis batal demi hukum.
Namun dalam praktiknya, masih banyak para pelaku usaha yang
mencantumkan klausula tersebut, di sini peran polisi ekonomi dituntut agar
menertibkannya. Disamping pencantuman klausula baku tersebut, ketentuan yang
sering dilanggar adalah tentang cara penjualan dengan cara obral supaya barang
kelihatan murah, padahal harga barang tersebut sebelumnya sudah dinaikan
terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 11
huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini dapat diancam pidana paling
lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp.500 juta rupiah.
Dalam kenyataannya aparat penegak hukum yang berwenang
seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia perdagangan atau
dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha yang jelas-jelas telah
melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan konsumen. Bahwa
masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi urusan YLKI atau
lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59
ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi pelanggarnya tetap
dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian. ( Oktober 2004 )
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas
maka kami menyimpulkan bahwa hingga saat ini perlindungan konsumen masih
menjadi hal yang harus diperhatikan. Konsumen sering kali dirugikan dengan
pelanggaran-pelanggaran oleh produsen atau penjual. Pelanggaran-pelanggaran
yang terjadi saat ini bukan hanya pelanggaran dalam skala kecil, namun sudah
tergolong kedalam skala besar. Dalam hal ini seharusnya pemerintah lebih siap
dalam mengambil tindakan. Pemerintah harus segera menangani masalah ini sebelum
akhirnya semua konsumen harus menanggung kerugian yang lebih berat akibat efek
samping dari tidak adanya perlindungan konsumen atau jaminan terhadap konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar